All 2012 posts here, Literature Based

Obat herbal, what do you think?

Alkisah, beberapa waktu yang lalu ada yang bertanya kepada saya tentang saudaranya yang sedang menderita kanker hati stadium akhir. Salah satu pertanyaannya adalah, “obat herbal apa sih yang baik dikonsumsi”?

Jadilah pagi ini saya galau, mau membahas tentang kanker hati dulu, atau obat herbal dulu ya. Eh nggak sengaja mata saya melirik ke tumpukan buku-buku di meja, dan mendapati ada buku Trubus InfoKit. Judul lengkap dan covernya yang ini nih.

So, kita bahas tentang herbal dulu yah.

Herbal saat ini merupakan salah satu alternatif pengobatan tradisional yang sedang booming kembali, apalagi dengan mudahnya komersialisasi klinik tradisional di televisi maupun koran, yang mencantumkan testimoni dari beragam kalangan masyarakat bahkan kadang dokter sendiri.

Menurut buku ini, sebenarnya dalam “obat herbal” terdapat tiga istilah  yang terkait didalamnya yaitu: a) obat asli, b) obat tradisional, dan c) obat bahan alam. Badan Kesehatan Dunia (WHO) mendefinisikan obat tradisional sebagai obat asli di suatu negara yang digunakan secara turun-temurun di negara itu atau negara lain. Obat tradisional harus memenuhi kriteria antara lain sudah digunakan minimal 3 generasi dan telah terbukti aman dan bermanfaat.

Obat asli sendiri, adalah suatu obat bahan alam yang ramuannya, cara pembuatannya, pembuktian khasiat, keamanan, serta cara pemakaiannya berdasarkan pengetahuan tradisional suatu daerah. Sedangkan obat bahan alam adalah semua obat yang dibuat dari bahan alam yang dalam proses pembuatannya belum merupakan isolat murni. Obat bahan alam bisa berupa obat asli, obat tradisional, atau pengembangan dari keduanya.
Karena prinsip obat tradisional mengandalkan pada warisan turun-temurun, dasar keilmuan yang digunakan terkadang tidak rasional. Itulah mengapa dalam penggunaan obat-obat tradisional harus ekstra teliti dalam memilih jenis dan metode pengobatan. Mekanisme kerja obat tradisional seringkali tidak jelas, sehingga kadangkala sulit untuk mengharapkan hasil yang sama ketika diulang. Namun, semakin tua usia obat, maka uji empiris akan semakin banyak dilakukan, sehingga obat-obat yang dikatakan berkhasiat dapat diuji secara ilmiah. Di buku ini dikatakan bahwa pengobatan tradisional juga memiliki pendekatan yang lebih holistik, antara tubuh, pikiran, dan jiwa, yang mana dianggap sebagai keunggulan pengobatan tradisional dibanding konvensional.

Herbal tradisional baru bisa dikatakan sebagai obat jika telah diteliti melalui proses yang panjang dan lama sehingga bisa dipastikan unsur/zat aktifnya, diketahui efek farmakologisnya, bisa dipastikan dosisnya, diketahui efek sampingnya, dan dipastikan proses pembuatannya. Untuk memudahkan pengawasan dan perizinan, Badan Pengawas Obat dan Makanan mengelompokkan tanaman obat dalam kelompok jamu, herbal terstandar, dan fitofarmaka.

Yang disebut jamu adalah ramuan yang dibuat dari bahan-bahan alam, digunakan secara turun-temurun, dipercaya berkhasiat berdasarkan pengalaman, dan belum ada penelitian ilmiah untuk mendapatkan bukti klinik mengenai khasiat tersebut. Disebut jamu jika sudah digunakan di masyarakat melewati 3 generasi atau setara dengan 180 tahun.

Ketika bahan-bahan jamu telah diuji secara ilmiah (penelitian praklinik dengan hewan uji) meliputi uji khasiat dan manfaat, maka bahan-bahan ini disebut dengan herbal terstandar. Untuk menjadi herbal terstandar, jamu harus memenuhi kriteria aman, klaim khasiat dibuktikan secara ilmiah, telah dilakukan standarisasi terhadap bahan baku yang dipergunakan dalam produk jadi, dan memenuhi persyaratan mutu yang berlaku. Saat ini di Indonesia sudah ada 17 herbal terstandar.

Kategori tertinggi adalah fitofarmaka dengan persyaratan aman, klaim khasiat berdasarkan uji klinik yang diterapkan pada manusia, telah dilakukan standarisasi terhadap bahan baku yang dipergunakan, dan memenuhi persyaratan mutu yang berlaku. Sebuah jamu akan melewati uji-uji berikut ini sebelum diakui sebagai fitofarmaka: uji toksisitas, uji eksperimental pada hewan, serta uji klinik fitofarmaka pada manusia (uji pada manusia sehat, uji pada pasien dengan penyakit tertentu). Jamu pada kategori fitofarmaka ini yang bisa disejajarkan dengan obat modern. Tanaman unggulan nasional yang telah diuji klinis baru 9 yaitu: salam, sambiloto, kunyit, jahe merah, jati belanda, temulawak, jambu biji, cabai jawa, dan mengkudu.

Oke rasanya perlu saya tekankan bahwa sembilan lho, cuma sembilan macam tanaman/jamu tradisional yang melewati uji klinis. Sedangkan jumlah produk herbal terstandar di Indonesia sejumlah 17 dan produk fitofarmaka sejumlah 5. Jumlah ini diharapkan terus bertambah mengetahui jumlah tanaman obat tradisional di Indonesia yang ribuan dan masing-masing jika diteliti dan dikembangkan dapat berpotensi menjadi fitofarmaka.

Bagaimana dengan jenis jamu-jamuan lain yang belum teruji secara klinis?

Itulah masalah yang saat ini banyak dihadapi oleh para dokter, dimana masyarakat cenderung lebih menyukai obat herbal (yang selanjutnya kita sebut jamu ya, karena belum teruji secara klinis) dibandingkan obat konvensional. Seringkali obat konvensional dijadikan kambing hitam sehingga keberadaannya ditolak mentah-mentah oleh masyarakat. Coba deh googling dengan keyword “obat konvensional” maka akan anda temukan situs-situs web komersialisasi obat herbal yang menggunakan kalimat-kalimat negatif seperti “sintetis dan asing bagi tubuh alami kita, memiliki berbagai efek samping negatif” atau “bahaya obat kimia mengancam di sekitar kita karena ternyata obat kimia tidak menyembuhkan penyakit”, lalu yang paling sering ditemukan adalah kalimat seperti ini:

AWAS !!! Waspadai Efek Samping Obat Kimia

Cobalah Anda membaca brosur atau aturan pakai pada obat-obatan kimia, Anda akan menemukan serentetan efek samping yang bisa Anda alami jika mengonsumsinya. Tapi berbeda halnya dengan obat herbal murni, Anda tidak akan menemukan efek samping ketika mengonsumsinya.” sumber: klik disini

Seperti penjelasan yang sudah saya kutip diatas, ketika jamu sudah terproses sebagai fitofarmaka (yaitu sudah melewati uji klinis pada hewan, manusia sehat, manusia sakit, diketahui kadar keamanannya bagi wanita hamil/teratogenik) maka akan jelas rentang dosis yang aman untuk dikonsumsi, jelas efek yang ditimbulkan, jelas efek samping yang bisa terjadi. Ketika anda tidak mengetahui zat aktif apa yang terkandung di dalam herbal tersebut, berapa dosis yang tepat, sediaan apa yang optimal untuk zat tersebut (direbus/ditumbuk/dikeringkan dll), maka selalu ada kemungkinan khasiat jamu-jamuan tersebut akan berbalik 180 derajat pada dosis tertentu.

Saya beri contoh. Dalam situs yang dirilis tahun 2011, American Cancer Society (ACS) menyebutkan, pengobatan herbal tradisional Cina untuk kanker memegang peranan yang penting dari ilmu kedokteran di Cina, yang mana dapat mengembalikan keseimbangan energi, jiwa, dan raga untuk mempertahankan kesehatan. Namun, sekarang ini banyak praktisi herbal yang menambah dosis, atau mengubah kadarnya. Sehingga obat tersebut tak bisa lagi dijamin keamanannya. (sumber klik disini)

Begitu pula dengan obat-obatan tradisional Indonesia. Setiap tanaman tradisional memiliki karakteristik dan kandungan zat aktif yang berbeda-beda yang mana membutuhkan pemilihan produk yang tepat (umur tanaman, kondisi tanah tempat menanam, suhu lingkungan tertentu) dan diolah dengan teknik yang spesifik pula (dikeringkan dulu atau dipotong-potong dulu dsb). Pengetahuan mengenai pengolahan yang tepat ini yang perlu diketahui oleh masyarakat.

Saya kutip salah satu contoh “resep” obat herbal dari buku Trubus ini:

Resep kunyit (Curcuma longa) untuk diare:

Bahan:

-Kunyit Curcuma longa beserta umbinya : 1 buah sebesar telur ayam

-Daun jambu biji Psidium guajava, dipilih nomor 4 dari pucuk: 10 lembar

-Lempuyang Zingiber aromaticum : 1 jari tangan

Cara membuat: semua bahan dicuci sampai bersih, lalu diiris-iris tipis. Rebus dalam 3 gelas air sehingga tersisa 2 gelas.

Aturan minum:

Dewasa: 1/3 gelas

-anak umur 7-12 tahun: 3x sehari 5 sendok makan

-anak umur 4-6 tahun: 3x sehari 2 sendok makan

-anak umur 3 tahun: 3x sehari 1,5 sendok makan

-bayi umur 1,5-6 bulan: 3x sehari 1 sendok teh

-bayi umur 7-11 bulan: 3x sehari 2 sendok teh

Begitu spesifiknya proses pengolahan sebuah obat herbal, dokter pesialis penyakit dalam yang juga salah satu direktur di RSCM, Dr. dr. C.H. Soejono, SP.PD-Kger, memaparkan, saat ini pihaknya sedang menyiapkan buku panduan penggunaan obat herbal, bekerja sama dengan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. (sumber klik disini)

Sebenarnya obat tradisional dapat terus berkembang disisi obat konvensional, dan keduanya bisa berjalan bersama-sama. Menurut dr. Abidinsyah Siregar, obat konvensional bekerja untuk mengatasi penyakit, sedangkan obat tradisional bekerja untuk meningkatkan imunitas tubuh dan mempercepat penyembuhan. Pada penyakit kanker, terutama yang sudah  stadium lanjut, kemoterapi adalah pilihan yang terbaik. Sedangkan obat herbal dapat dipertimbangkan sebagai penunjang.

Tentu saja kandungan zat aktif perlu diperhatikan, karenanya konsumsi obat tradisional bersamaan dengan obat konvensional harus sangat berhati-hati.  Bisa jadi kedua obat itu memiliki efek saling menguatkan, atau melemahkan. Oleh karena itu, hanya tenaga kesehatan yang telah mendapat pembekalan formal dari Kementerian Kesehatan,  yang boleh memberikannya. Apabila tenaga kesehatan tersebut sulit dicari, setidaknya pasien bisa menunjukkan dulu obat herbal yang akan diminum kepada dokter (jika sakit kanker kepada spesialis onkologi) yang merawat. Namun perlu disadari, bahwa kemungkinan dokter tidak bisa menjawabnya pada waktu itu juga dan perlu menyimpannya untuk dipelajari. Karena dokter tak mungkin hafal isi dan reaksi ramuan obat tradisional yang beraneka ragam itu. (sumber klik disini).

Terakhir, regulasi obat tradisional sendiri saat ini sudah semakin ketat dan diatur dalam Permenkes NOMOR 007 TAHUN 2012 tentang Registrasi Obat Tradisional. Bagi anda yang tertarik dapat mendownloadnya disini (klik disini).